Aku sudah tidak mau lagi
berjanji untuk tidak menuliskanmu, sejak pada paragraf lalu aku
mengikhlaskanmu.
Saat itu, apa yang ada di depan jadi
apa yang harus ku tanggung dan ku pikirkan. Aku sudah tidak mau lagi
membereskan masa lalu yang berceceran dibelakang, karena aku tau, pecahan kaca
itu justru akan melukai diriku.
“Apa yang lebih bodoh ketika otakmu
direnggut oleh perasaanmu?” Ya, sepertinya itu yang kali ini menambah
berisiknya pikiranku.
Andai, seandainya, bila saja, jika
waktu itu, atau dalam narasi apa kalimat penyesalan itu mampir untuk
memperjelas keberadaannya. Tapi sekalipun itu bisa terulang, aku juga tidak tau
apa aku cukup kuat untuk menahanmu? Aku ngga tau. Bahkan dalam polos tangis dan
tawaku yang tanpa perlu banyak alasan itu, kau masih tega meninggalkannya.
Dari sedarahmu yang kini asing, aku masih menuntut tangungjawab itu, maybe atas dasar “seandainya” penyesalan itu selalu muncul ketika bahagia tidak selalu memilih aku yang dapat merasakannya.
Komentar
Posting Komentar