Pixabay |
Hari itu semua siswa kelas 12 sedang gempar, keluar masuk ruang BK
(Bimbingan Konseling) yang kebetulan memiliki ruangan yang agak sempit. Alhasil,
siswa mengantri untuk menunggu giliran bertanya dan meminta saran tentang
langkah apa yang berpeluang besar untuk mereka masuki di sebuah Perguruan
Tinggi nantinya.
Ya, sudah menjadi rahasia umum bahwa siswa di SMA Negeri akan
bangga jika mereka bisa lolos di Perguruan Tinggi Negeri, apalagi dengan jalur
se-keren SNMPTN, lolos tanpa susah payah keluar uang dan pikiran. Itu jadi goal
yang di idamkan banyak siswa, termasuk di SMA ku.
Waktu itu, segala strategi ku atur,
semua pihak yang ku rasa mampu memberi informasi lebih tentang apa-apa yang
berkaitan dengan Universitas tujuanku, pasti akan ku serbu dia dengan rentetan
pertanyaan yang membosankan untuk dijawab. Aku tau itu, karena pertanyaanku
yang berulang dan terkesan klise itu, kini ku temui saat aku duduk di
bangku perkuliahan.
Ini bukan kisah ku, tapi kisah dia,
orang keras kepala yang pernah ku kenal, gigih dan penuh keyakinan, tidak mau
menyerah sebelum kedua matanya sendiri dengan jelas menyaksikan kemungkinan
terburuk itu terjadi. Aku tau, kemampuannya memang tak diragukan, tapi bukan
itu yang kini jadi persoalan.
Hari dimana semua keputusan sudah di
genggam, berkas SNMPTN sudah selesai dipersiapkan, tapi masih ada kesempatan untuk
mengubah jika dirasa ada keraguan. Ku tepuk bahunya pelan, dan bukan untuk
pertama kali kalimat itu ku lontarkan, “Universitas terbaik loh, kamu yakin
dengan keputusanmu itu?”
Sahabatku itu memilih Universitas
Gadjah Mada sebagai pelabuhannya memulai perjalanan yang tidak sebentar. Bukan,
bukan karena aku meragukan kemapuannya, atau meragukan akumulasi nilai rapotnya
yang sudah pasti jauh diatasku, justru UGM akan rugi jika tak menerimanya jadi
mahasiswa disana. Tapi balik lagi ku ingatkan pada nya, “Sainganmu tidak
bisa diukur dengan logika sekalipun, dan catatan peringatan yang dikirim ke
sekolah kita jadi hal besar yang membuat pihak UGM akan berpikir 4 sampai 5
kali untuk menerima sekolah kita lagi”.
Tapi ternyata, lembutnya tutur kata
ku tak juga mampu melunakkan keras kepalanya, aku tau, percaya diri itu perlu,
karena negatif thingking malah akan memperburuk keadaan, tapi saat ini realita
sudah bisa dibaca, kemungkin gagal itu sudah ketahuan presentase nya, bahkan
guru BK kita juga memperingatkan akan keputusan dia yang mungkin tak butuh
ekspetasi besar untuk diterima.
Ya, UGM tetap saja jadi pilihannya,
sebagai salah satu orang terdekatnya saat itu aku hanya bisa memberikan support
terbaik yang ku bisa. Aku memilih lebih fokus dengan diriku sendiri, aku sadar
tenyata kita mengambil keputusan yang bertolak belakang, aku yang terlalu takut
melangkah, dia yang sudah berani berlari. Itulah ibaratnya, karena aku yang
memilih aman, Universitas dengan passigride yang jauh dibawah
Universitas pilihannya.
Sampai pada hari itu tiba, hari
dimana air mata itu mengalir dari setiap sudut mata siswa, begitu pun denganku,
kejutan paling romantis dari Tuhan untuk ku. Tapi air mata bermakna beda hadir
di bagian bawah kelopak mata nya, air mata yang dari dulu ku takutkan ketika
keputusan itu sudah mengeras dikepala nya, air mata yang ku takutkan jadi
sumber keputus asa an yang mungkin saja bisa terjadi dalam hidupnya.
Tapi ternyata aku salah, air mata
itu bukan hanya dipenuhi kekecewaan tapi juga cambukan untuknya, agar mampu
membuktikan versi terbaik dari dirinya. Ya, setelah euphoria SNMPTN yang
turut mengambil bagian penting dari
sejarah masa abu-abu kita selesai, ada lagi gerbang baru yang mengantarakan
teman-teman sampai di depan pelabuan perjalanan panjangnya, yaitu SBMPTN.
Tumpukan buku tebal dan berbagai
lembaran latihan soal berhasil ia selesaikan, bahkan sekejab dia sempat hilang
dari circle pertemanan, tapi dengan kerja kerasnya dan grafik
kehidupannya yang tak selalu stabil itu, Tuhan punya cara paling unik untuk
membuat dia menjadi orang yang lebih baik.
Ketika nilai yang jadi ukuran untuk dia masuk di perguruan tinggi
itu keluar, aku tak setuju jika angka itu jadi ukuran kecerdasaan yang dimilikinya,
karena aku yakin dia memiliki kemampuan yang lebih dan angka yang seharusnya
lebih besar dari pada itu, tapi sudahlah sistem akademik Universitas yang akan
bicara.
Hari itu, dia masih tetap keras
kepala, wallpaper gedung Universitas Gadjah Mada itu tetap bertengger di
ponselnya. Aku tak mau jadi penghalangnya memulai masa depan, tapi aku juga tak
mau diam dan pura-pura tak tau bahwa kemungkinan buruk itu masih menepati
kedudukan tertinggi, kecuali tangan Tuhan yang menggesernya, aku yakin dengan
campur tangan Tuhan, tapi mengatur srategi tetap jadi ikhtiar paling baik untuk
dilakukan.
Dan masih tetap ku coba memberinya
saran meskipun aku tau itu tak sepenuhnya dia pedulikan, “Apa tidak lebih
ganti saja di PTN lain, UM mungkin? Ku rasa itu pilihan tepat” setelah
beberapa hari dia memberi kabar bahwa, dia diterima di Universitas Negeri
Malang, aku tidak menyangka, dia mampu berbesar hati dan menjadikan UM
pilihannya, aku tau pertimbangan berat itu berhasil dia lewati, pasti juga
dengan kata hati dan kata orang-orang yang ia sayangi, terbukti bahwa hasil
selalu menjawab usaha yang luar biasa.
Aku bangga dengannya, UM jadi ladang
untuk dia tumbuh dan berproses, saat ini dia telah banyak melewati titik
terendah dalam perjalannnya meninggalkan pelabuhan lama menuju pelabuhan baru, dengan
besar harapan masa depan dapat merubah hidup. Kini, si keras kepala itu dan
segala pencapaiannya selalu jadi tamparan paling membahagiakan untukku.
Ketika dia, sahabatku, membaca
tulisan ini, aku ingin mengatakan, selamat ulang tahun manusia hebat, selamat datang di usia pertama berkepala dua. terima kasih dari mu kita belajar, bahwa
terkadang dalam hidup kita tak harus menjadikan yang tebaik sebagai pilihan.
- salam kangen
Refina
Huhu nangis bombayy...
BalasHapusTerima kasih telah menjadi penasihat bijak untuk aku yg keras kepala ini.
Jgn lelah dan berubah ya, Ref.
Terima kasih orang baik❤